Kotak Hitam
Gubuk reot mbok yang menemani hari-hariku selama ini. Dan
beberapa hari yang lalu mbok sudah genap berusia 65 tahun. Sekarang mbok sedang
memasak nasi dalam kuali yang sudah beberapa tahun tidak digantinya. Kalau
diperhatikan kuali itu sudah berlubang di beberapa bagian namun entah bagaimana
mbok bisa memasak beras hingga menjadi nasi yang rasanya seperti rasa nasi pada
umumnya. “Ro…ayo makan nak!” sekali atau dua kali sehari mbok mengajakku makan
baik itu nasi ataupun singkong. Sebenarnya
dulu aku lebih memilih menahan lapar daripada harus memakan nasi tanpa lauk.
Tapi dalam hal ini aku hanya berbicara tentang perasaan mbok yang setiap hari
berusaha mencari kayu bakar walau yang sering ia dapatkan adalah kayu bakar
basah yang terendap air hujan. Sedikit demi sedikit kuhabiskan makanan yang ada
di depanku bersama senyuman yang kulemparkan kepada mbok. “Habisin ya Ro!”. Aku
hanya mengangguk tanda mengiyakan. Biasanya 2 kursi yang ada di depanku ini
terisi oleh bapak dan ibu tapi mereka lebih dulu dipanggil beberapa tahun
silam. Aku selalu berusaha menikmati hidup bersama mbok walaupun pahit.
Seperti umat
muslim pada umumnya tepat adzan subuh berkumandang kubasuh sebagian tubuhku
dengan air wudhu dari sumur yang pinggirannya sudah terhiasi oleh lumut dan
jamur. Di rakaat pertama shalatku aku masih merasakan kekhusyukan tanpa air
mata dan di rakaat kedualah kurasakan air mataku menetes tepat diujung mata.
Siapa lagi yang ada dipikiranku sekarang kecuali bapak dan ibu. Untain doaku
hanya ini, “YaTuhan..apalagi yang kurasa selama kepergian orang tuaku selain
rasa sesal. Impianku selama beberapa tahun membuat mereka menyelesaikan rukun
haji hancur begitu saja. Aku belum pernah membuat mereka bangga,membuat mereka
menangis haru,dan melukis senyum dibibir mereka. Aku mohon pertemukan kami
dalam surga-Mu.” Air mataku menetes semakin deras sampai dadaku terasa sesak
dan membuatku terbaring sejenak di samping mbok yang masih tertidur pulas.
05.20 aku
berangkat kesekolah dengan seragam putih merahku. Sebenarnya bukan putih merah
lagi tapi kuning merah. Setiap hari mbok mengikat rambutku supaya tidak
terlihat berantakan katanya.”Ro…ini uang jajannya nak,beli secukupnya saja
yah.” Disodorkannya kepadaku uang 1000 rupiah hasil penjualan singkong mbok.
Sebotol air minum kugenggam ditangan untuk menghilangkan rasa hausku. Jembatan
kayu yang sudah mulai lapuk kulewati bersama puluhan siswa lainnya. Awalnya aku
masih terus diikuti oleh bapak untuk menyebrang di jembatan ini karena jujur
saja sampai sekarang pun tubuhku masih dingin gemetar untuk berjalan diatas
jembatan yang sudah hampir roboh.Setahun lagi seragamku akan berganti dan aku
harap aku bisa terlepas dari gubuk reot dan jembatan kayu ini.
06.40 sampailah
aku pada sebuah gubuk pula tapi gubuk yang satu ini ukurannya sedikit lebih
besar dari gubuk tempat tinggalku bersama mbok dan gubuk inilah yang aku sebut
sebagai sekolah. Tanpa bangku aku dan
teman-teman bisa belajar dialasi karpet anyaman berwarna coklat. Mbok tidak
pernah tahu bahwa uang jajan yang selama ini ia berikan kepadaku tidak pernah
berpindah tangan. Impian yang kutanam sejak aku berumut 7 tahun telah
kupindahkan untuk mbok. Aku bersikeras untuk membuat mbok pergi ketanah suci
dan membuat mbok memelukku dengan rasa haru. Rasa lapar yang sering kurasakan
menurutku tidak terlalu bermakna dibanding bahagia yang akan kuciptakan. Akan kubuat mbok melepaskan semua
pekerjaannya dan membuatnya menikmati
masa tua berdua bersamaku.
Sekitar 1km dari
sekolah adalah makam bapak dan ibu. Aku tidak pernah melewatkan waktu untuk
bertemu dengan mereka ketika pulang dari sekolah. Walau di alam yang yang
berbeda aku percaya bahwa Tuhan mendengar semua untaian doaku. Digenggamanku
sekarang hanya sebuah botol tanpa air. “Mbok..Roro pulang!”ujarku. “Yasudah..bagaimana
belajarnya?”Tanya mbok. ‘Lancar kok mbok, mbok sudah makan?” tanyaku kembali.
“sudah nak kalau kamu mau makan mbok sudah sediakan singkong diatas meja,mbok
mau ambil singkong dulu” aku hanya tersenyum melihat mbok pergi. Aku selalu
ingin ikut mbok bekerja walau hanya sekedar menaruh singkong ke suatu wadah
tapi mbok selalu marah jika saja aku lelah hanya karena hal yang sepeleh. Didepanku
sudah ada 2 potong singkong yang siap untuk kulahap namun baru sepotong
singkong yang kuhabiskan sepertinya teman-teman sudah memanggilku untuk pergi
bermain bola dipinggir sungai belakang rumah. Aku memang wanita tapi aku cinta
sekali dengan sepak bola “Ro..kita satu tim yah,nanti kamu yang nendang
bolanya”kata herma “Iyaa..teman-teman yang lain kemana?” tanyaku. “Mereka sudah
ada disana”. Kelompok sudah terbentuk dan saatnya bermain. Satu hal yang
membuatku lupa akan waktu adalah bola.
Kami membentuk gawang dengan dua kayu panjang yang ditanam dipasir. Taka apa
jika tanpa sepatu karena yang terpenting adalah kebersamaan dan menang.
Sebelum petang aku
sudah ada dirumah berhadapan dengan beberapa buku mata pelajaran. Dan disaat
seperti ini mbok selalu bilang”jangan cuma dihafal,pahami juga isinya soalnya
mbok mau lihat kamu sukses biar nggak kayak mbok yang tiap hari Cuma berhadapan
dengan singkong dan kayu bakar” aku tidak pernah mengerti apa mbok lupa kalau
ia telah mengatakan itu berkali-kali padaku atau ia memang ingin mengatakan itu
tiap melihat aku belajar untuk memotivasi kesuksesanku. Tapi kata-kata mbok itulah
yang selalu kutanam dalam jiwaku. “Mbok..hm mbok ma Roro jadi apa?” Tanyaku
“terserah Ro. Mbok mah nggak pernah maksa yang penting kamu harus jadi orang
sukses” “Kalau Roro jadi pengusaha mbok mau tidak?” “Kan mbok sudah bilang
terserah,ya semampu kamu saja.” Aku
hanya tertawa cengengesan.
Tak terasa
seragamku sudah berubah. Gubuk yang kutempati belajar dulu telah berubah dan
tidak pantas kusebut gubuk lagi ,begitupun sekolah baruku. Kata mbok ada
pasokan dana dari pemerintah dan mereka membangun beberapa sekolah SD dan SMP
disini. Fasilitas yang diberikan pun sudah memenuhi dan kenyamanan belajarku
akan bertambah. Tapi satu hal,jembatan kayu lapuk yang dulu sering kulewati
belum dibenahi. Sebenarnya aku tidak lagi melewati jembatan itu karena jarak
rumahku dan sekolah sudah dekat tapi bagaimana kabar siswa-siswa yang lain? Aku
sedikit melamun memikirkan itu semua namun lamunanku buyar seketika saat Bu
Tuti memintaku mengerjakan beberapa soal Bahasa Indonesia dipapan tulis. Jujur
saja aku sangat tertarik dengan bahasa terutama bahasa asing. Ketertarikanku
dimulai ketika mataku tertuju pada orang Australia yang saat itu berkunjung ke
sekolah dengan wajah bingung. Dia sangat kesulitan dalam berkomunikasi.
Bagaimana aku bisa memperkenalkan Indonesia jika bahasa asing saja juga sangat
asing ditelingaku.
Hari-hari kuisi
dengan buku dan buku. Perpustakaan disekolah sudah ada walau buku yang tersusun
rapi disana tidak sebanyak buku yang pernah kulihat dikota dari tv-tv tetangga
sebelah. Tapi sungguh ini sebuah nikmat dan patut disyukuri. Karena salah satu
buku di perpustakaan inilah aku bisa mendapatkan sebuah beasiswa untuk
melanjutkan sekolah di salah satu sekolah swasta yang ada di Jakarta. Perihal
ini belum kuceritakan kepada mbok. Aku yakin mbok sedih melihatku akan pergi
jauh hanya untuk belajar, jadi menceritakan semua ini aku butuh waktu yang
tepat agar mbok bisa mengerti dan dengan leluasa melepasku serta menanam kepercayaan untukku.
3 tahun berlalu
dan ini saatnya mbok harus tau semua. Diruang tamu yang besarnya hanya kurang
dari 2m aku duduk disamping mbok “Mbok..”panggilku “Iya Ro?” “Kalau Roro pergi
jauh bagaimana? “Loh! Emang kamu mau kemana?” “Yah nggak kemana-mana sih
mbok,aku Cuma mau tau saja” cetusk “Hm..tentu mbok nggak sanggup” Mendengar
jawaban dari mbok membuatku harus menahan tangis dan berlari ke kamar. “Mbok
tidak sanggup” kalimat itu sampai detik ini masih terngiang-ngiang ditelingaku.
Sampai semalam aku tidak bisa tidur memikirkan kata-kata dari mbok. “Apa aku
harus menerima beasiswa itu? Sedangkan mbok tidak sanggup aku pergi dan ia harus
hidup sebatang kara”bicaraku dalam hati. Pukul 03.00 mataku masih terbelalak
dan aku telah mengambil keputusan untuk tetap menerima beasiswa itu dengan
keyakinan pulang melukis senyum di wajah mbok.
Pagi itu aku
bangun sedikit terlambat dengan mata bengkak. Kebetulan hari ini hari minggu
dan mungkin ini saat yang tepat untuk mengatakan semuanya. “Mbok..Roro mau
bicara” mbok langsung duduk disampingku “Apa nak?” “Hm..jadi gini, Roro
menerima beasiswa disekolah dan Roro akan ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah
disana. Roro bingung ngejelasin semuanya mbok soalnya Roro nggak mau ngeliat
mbok sedih” setetes air mata jatuh dipipi kanan mbok dihiasi oleh senyuman
kemudian mbok memelukku. “Ro..mbok lebih sedih lagi kalau kamu menolak beasiswa
itu karena mbok. Mbok bisa kok hidup
sendiri tapi kamu harus janji kalau kamu pulang nanti kamu harus membawa kabar
gembira buat mbok” isakku semakin keras ketika mendengar mbok mengatakan
seperti itu. “Iya mbok iyaa..Roro janji! Malam itu kubereskan semua
barang-barangku dibantu dengan mbok. Karena besok pagi mobil yang disewa untuk
menjemputku sudah datang. Dengan berbekal uang jajan yang sudah kutabung selama
9 tahun lamanya aku pergi dengan menyimpan air mata untuk mbok.
Sekolah baru,teman
baru,suasana baru. Mataku terbuka lebar tiap kali melangkah melihat betapa
megahnya bangunan ini. Kalau dibandingkan dengan sekolahku yang dulu
perbandingganya 360 derajat. Aku ditempatkan di kelas X.A. “Aku disini yah”kata
seorang lelaki yang entah siapa namanya. “Kenalin nama gue Tomi” aku sedikit
gugup ketika dia memperkenalkan dirinya. Gue? Aku pikir kata-kata itu terlalu
kasar jika dilontarkan untukku. “Heyyy..kenapa diam?” “ha..hmm nggak nggak. Aku Roro” mendengarku
bicara dengan lemah lembut membuat Tomi sedikit canggung dan langsung duduk
disampingku. Detik demi detik berlalu dan aku tidak sadar bahwa aku telah
melewatkan waktu bersama Tomi dengan mengabaikan pertemuanku dengan teman-teman
baru yang lain. Betapa bahagianya aku saat tahu bahwa teman-teman yang
bersamaku sekarang ini adalah teman-teman yang baik. Kami sepaham dan sangat
mudah dalam hal diskusi. Sampai pada akhirnya aku ditunjuk untuk mengikuti
lomba siswa berprestasi bersama 3 orang siswa lainnya. “Beberapa hari lagi
kalian akan mengikuti olimpiade siswa berprestasi tingkat nasional. Dan ibu
harap kalian meningkatkan waktu belajar kalian dan lebih serius lagi. Hadiahnya
juga sangat besar maka dari itu ibu minta kalian bersungguh-sungguh dalam hal
ini” Kata Ibu Amel saat kami di kumpulkan diruang guru. Huh..ini adalah
kesempatan untukku. Siapa tau aku bisa menang dan hadiahnya bisa aku kasih
untuk mbok. Hari-hari disekolah kuisi bersama Roy,Sena,dan Martin di
perpustakaan sambil berdiskusi bagaimana cara mengerjakan soal-soal yang
diberikan oleh Bu Amel. “Ro..kayaknya di antara kita berempat kamu deh yang
otaknya paling encer”ujar Sena “ah..apaan sih biasa aja kok. Masih pintaran
kalian semua.” Jawabku “Nggak Ro..yang Sena bilang tuh bener”. Aku menunduk
tersipu malu atas pujian-pujian mereka.
Duduk menghadapi
kertas putih yang berisi soal olimpiade adalah awal bagiku. Tapi aku selalu
ingat mbok yang sedang menanti bahagia disana. Sekitar 10 menit akhirnya kami
diminta untuk mengerjakan soal dan harus selesai dalam waktu 90 menit. Kubuka
dengan basmalah dan kumulai mesin otakku bekerja. Di depan jendela ada Bu Amel
yang selalu tersenyum dan menyemangatiku. Setelah satu jam lebih berlalu ketiga
temanku sudah keluar dari ruangan mereka masing-masing. Aku masih tetap
menajaga konsentrasiku sampai kudengar bel tanda berakhirnya waktu 90 menit.
Di asrama
teman-teman meyakinkanku bahwa aku akan keluar sebagai pemenang tapi aku harus
tetap rendah hati namun tetap mengaminkan. Berdiri ditengah ribuan siswa
lainnya sudah biasa menurutku. Tapi upacara
bendera,yang dilakukan setiap hari senin kali ini membuatku sangat tidak
percaya. “juara 1 olimpiade tingkat nasional… Roro Mahesa” kata sang protokol
diatas sana. Aku diam tak berkutik. “Mimpi apa aku semalam”tanyaku dalam hati.
“Heyy.udah nggak usah melamun ayo naik!” diserahkannya hadiah untukku dengan
hiasan tepuk tangan ribuan siswa lainnya. Aku bangga,bangga sekali! Kalau
dihitung-hitung biaya tabungan dan hadiah lomba olimpiade yang sekarang ada di
tanganku sudah cukup membuat mbok naik haji tapi aku tidak mau mbok sendiri,aku
harus ikut. Selesai upacara nanti aku dipanggil menghadap keruang kepala
sekolah. Dan satu kejutan lagi. Aku diminta untuk memilih 1 negara favorit yang
bisa kukunjungi. Ini adalah hadiah dari sekolah atas rasa bangganya kepadaku.“Mashaa
Allah..rahmat Tuhan tentu saja aku pilih mekkah bu.” Bu Amel tersenyum
“Baiklah..keberangkatan kamu akan diurus sekolah.” “Tapi bu..boleh tidak mbok
ikut?” tanyaku dengan wajah risau “Memangnya sekarang mbok kamu diamana?” “Mbok
ada dikampung bu. Soal biaya keberangkatan mbok biar saya yang tanggng. Boleh
yah bu?” “Yasudah..nanti ibu konfirmasi ke Pembina yang lain” “Makasih bu.
Makasih”
Hari ini hari keberangkatanku dengan mbok. Se-jam
yang lalu aku menjemput mbok yang beberapa hari sudah diberi kabar oleh pembina
disekolah. Aku mendapatinya dengan wajah berbinar-binar. Ia tiba-tiba memelukku
dengan ucapan terimakasih. Kami bertemu dengan jamaah haji lainnya di Islamic
centre dan bersama-sama menuju ke bandara dengan bus putih. Sungguh pemandangan
yang sangat asing bagiku. Pakaian sederhana. Sebuah mukenah putih terasa nyaman
dibadanku,pun mbok. Pesawat akan berangkat sekitar pukul 07.00 katanya dan yah
sebentar lagi impianku akan tercapai. Sambil menunggu,cemilan dan sebotol air
sudah ada digenggamanku. Dan iya! ini kali pertama aku akan merasakan terbang
diudara. “Mbok..mbok takut tidak?” tanyaku. “Jelaslah Ro.. inikan pertama
kali.” “sama mbok..Roro juga takut. Bagaimana kalau pesawatnya jatuh?”
“Ih..nggak boleh ngomong gitu…kita pergi dengan niat yang baik. Semoga saja
Allah meridhoi.” Aku mengamini ucapan mbok dalam hati. Setengah jam menunggu
akhirnya panggilan untuk masuk ke dalam pesawat sudah terdengar. Dengan
basmalah aku masuk dan duduk tepat disamping mbok. Sedikit demi sedikit pesawat pun terbang dan
membuatku keringat dingin. Kututup mataku agar aku bisa rilex kembali dan
menikmati perjalanan. Kucoba menatap keluar jendela dan “Ah..inilah pemandangan
Indonesia yang sebenarnya”. Pemandangan ini membuatku lebih santai hinggaku
terlelap sandar di bahu mbok. Kalimat-kalimat dzikir yang dilantunkan mbok
terdengar semu ditelingaku. Sampai 12 jam kemudian sampailah kami di bandara
Arab Saudi. Rasa penasaran dalam hatiku menggebu-gebu. Penasaran sekaligus tak
sabar melihat baitullah,kotak hitam yang kudamba-dambakan selama ini. Kami pun
diantar oleh pemandu untuk kesana. Saat baitullah sudah ada dihadapanku air
mataku jatuh satu per satu. Mbok juga diam terkesima,matanya berkaca-kaca dan
tersenyum haru.Aku juga tidak bisa menjelaskan apa yang kurasa saat ini. Namun
seketika baitullah yang kudambakan terabaikan saat mbok jatuh menimpa kaki
kananku. Mbok sesak nafas sekaligus kejang-kejang. Aku meminta jamaah haji
lainnya untuk membawa mbok ke rumah sakit. Air mataku mengalir semakin deras
sampai pada akhirnya mbok menghembuskan nafas terakhirnya tepat saat adzan isya
berkmandang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar