Senin, 14 September 2015

Kotak Hitam



Kotak Hitam
            Gubuk reot mbok yang menemani hari-hariku selama ini. Dan beberapa hari yang lalu mbok sudah genap berusia 65 tahun. Sekarang mbok sedang memasak nasi dalam kuali yang sudah beberapa tahun tidak digantinya. Kalau diperhatikan kuali itu sudah berlubang di beberapa bagian namun entah bagaimana mbok bisa memasak beras hingga menjadi nasi yang rasanya seperti rasa nasi pada umumnya. “Ro…ayo makan nak!” sekali atau dua kali sehari mbok mengajakku makan baik itu nasi ataupun singkong.  Sebenarnya dulu aku lebih memilih menahan lapar daripada harus memakan nasi tanpa lauk. Tapi dalam hal ini aku hanya berbicara tentang perasaan mbok yang setiap hari berusaha mencari kayu bakar walau yang sering ia dapatkan adalah kayu bakar basah yang terendap air hujan. Sedikit demi sedikit kuhabiskan makanan yang ada di depanku bersama senyuman yang kulemparkan kepada mbok. “Habisin ya Ro!”. Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan. Biasanya 2 kursi yang ada di depanku ini terisi oleh bapak dan ibu tapi mereka lebih dulu dipanggil beberapa tahun silam. Aku selalu berusaha menikmati hidup bersama mbok walaupun pahit.
            Seperti umat muslim pada umumnya tepat adzan subuh berkumandang kubasuh sebagian tubuhku dengan air wudhu dari sumur yang pinggirannya sudah terhiasi oleh lumut dan jamur. Di rakaat pertama shalatku aku masih merasakan kekhusyukan tanpa air mata dan di rakaat kedualah kurasakan air mataku menetes tepat diujung mata. Siapa lagi yang ada dipikiranku sekarang kecuali bapak dan ibu. Untain doaku hanya ini, “YaTuhan..apalagi yang kurasa selama kepergian orang tuaku selain rasa sesal. Impianku selama beberapa tahun membuat mereka menyelesaikan rukun haji hancur begitu saja. Aku belum pernah membuat mereka bangga,membuat mereka menangis haru,dan melukis senyum dibibir mereka. Aku mohon pertemukan kami dalam surga-Mu.” Air mataku menetes semakin deras sampai dadaku terasa sesak dan membuatku terbaring sejenak di samping mbok yang masih tertidur pulas.
            05.20 aku berangkat kesekolah dengan seragam putih merahku. Sebenarnya bukan putih merah lagi tapi kuning merah. Setiap hari mbok mengikat rambutku supaya tidak terlihat berantakan katanya.”Ro…ini uang jajannya nak,beli secukupnya saja yah.” Disodorkannya kepadaku uang 1000 rupiah hasil penjualan singkong mbok. Sebotol air minum kugenggam ditangan untuk menghilangkan rasa hausku. Jembatan kayu yang sudah mulai lapuk kulewati bersama puluhan siswa lainnya. Awalnya aku masih terus diikuti oleh bapak untuk menyebrang di jembatan ini karena jujur saja sampai sekarang pun tubuhku masih dingin gemetar untuk berjalan diatas jembatan yang sudah hampir roboh.Setahun lagi seragamku akan berganti dan aku harap aku bisa terlepas dari gubuk reot dan jembatan kayu ini.
            06.40 sampailah aku pada sebuah gubuk pula tapi gubuk yang satu ini ukurannya sedikit lebih besar dari gubuk tempat tinggalku bersama mbok dan gubuk inilah yang aku sebut sebagai sekolah.  Tanpa bangku aku dan teman-teman bisa belajar dialasi karpet anyaman berwarna coklat. Mbok tidak pernah tahu bahwa uang jajan yang selama ini ia berikan kepadaku tidak pernah berpindah tangan. Impian yang kutanam sejak aku berumut 7 tahun telah kupindahkan untuk mbok. Aku bersikeras untuk membuat mbok pergi ketanah suci dan membuat mbok memelukku dengan rasa haru. Rasa lapar yang sering kurasakan menurutku tidak terlalu bermakna dibanding bahagia yang akan kuciptakan.  Akan kubuat mbok melepaskan semua pekerjaannya dan membuatnya menikmati  masa tua berdua bersamaku.
            Sekitar 1km dari sekolah adalah makam bapak dan ibu. Aku tidak pernah melewatkan waktu untuk bertemu dengan mereka ketika pulang dari sekolah. Walau di alam yang yang berbeda aku percaya bahwa Tuhan mendengar semua untaian doaku. Digenggamanku sekarang hanya sebuah botol tanpa air. “Mbok..Roro pulang!”ujarku. “Yasudah..bagaimana belajarnya?”Tanya mbok. ‘Lancar kok mbok, mbok sudah makan?” tanyaku kembali. “sudah nak kalau kamu mau makan mbok sudah sediakan singkong diatas meja,mbok mau ambil singkong dulu” aku hanya tersenyum melihat mbok pergi. Aku selalu ingin ikut mbok bekerja walau hanya sekedar menaruh singkong ke suatu wadah tapi mbok selalu marah jika saja aku lelah hanya karena hal yang sepeleh. Didepanku sudah ada 2 potong singkong yang siap untuk kulahap namun baru sepotong singkong yang kuhabiskan sepertinya teman-teman sudah memanggilku untuk pergi bermain bola dipinggir sungai belakang rumah. Aku memang wanita tapi aku cinta sekali dengan sepak bola “Ro..kita satu tim yah,nanti kamu yang nendang bolanya”kata herma “Iyaa..teman-teman yang lain kemana?” tanyaku. “Mereka sudah ada disana”. Kelompok sudah terbentuk dan saatnya bermain. Satu hal yang membuatku lupa akan waktu adalah  bola. Kami membentuk gawang dengan dua kayu panjang yang ditanam dipasir. Taka apa jika tanpa sepatu karena yang terpenting adalah kebersamaan dan menang.
            Sebelum petang aku sudah ada dirumah berhadapan dengan beberapa buku mata pelajaran. Dan disaat seperti ini mbok selalu bilang”jangan cuma dihafal,pahami juga isinya soalnya mbok mau lihat kamu sukses biar nggak kayak mbok yang tiap hari Cuma berhadapan dengan singkong dan kayu bakar” aku tidak pernah mengerti apa mbok lupa kalau ia telah mengatakan itu berkali-kali padaku atau ia memang ingin mengatakan itu tiap melihat aku belajar untuk memotivasi kesuksesanku. Tapi kata-kata mbok itulah yang selalu kutanam dalam jiwaku. “Mbok..hm mbok ma Roro jadi apa?” Tanyaku “terserah Ro. Mbok mah nggak pernah maksa yang penting kamu harus jadi orang sukses” “Kalau Roro jadi pengusaha mbok mau tidak?” “Kan mbok sudah bilang terserah,ya semampu kamu saja.”  Aku hanya tertawa cengengesan.
            Tak terasa seragamku sudah berubah. Gubuk yang kutempati belajar dulu telah berubah dan tidak pantas kusebut gubuk lagi ,begitupun sekolah baruku. Kata mbok ada pasokan dana dari pemerintah dan mereka membangun beberapa sekolah SD dan SMP disini. Fasilitas yang diberikan pun sudah memenuhi dan kenyamanan belajarku akan bertambah. Tapi satu hal,jembatan kayu lapuk yang dulu sering kulewati belum dibenahi. Sebenarnya aku tidak lagi melewati jembatan itu karena jarak rumahku dan sekolah sudah dekat tapi bagaimana kabar siswa-siswa yang lain? Aku sedikit melamun memikirkan itu semua namun lamunanku buyar seketika saat Bu Tuti memintaku mengerjakan beberapa soal Bahasa Indonesia dipapan tulis. Jujur saja aku sangat tertarik dengan bahasa terutama bahasa asing. Ketertarikanku dimulai ketika mataku tertuju pada orang Australia yang saat itu berkunjung ke sekolah dengan wajah bingung. Dia sangat kesulitan dalam berkomunikasi. Bagaimana aku bisa memperkenalkan Indonesia jika bahasa asing saja juga sangat asing ditelingaku.
            Hari-hari kuisi dengan buku dan buku. Perpustakaan disekolah sudah ada walau buku yang tersusun rapi disana tidak sebanyak buku yang pernah kulihat dikota dari tv-tv tetangga sebelah. Tapi sungguh ini sebuah nikmat dan patut disyukuri. Karena salah satu buku di perpustakaan inilah aku bisa mendapatkan sebuah beasiswa untuk melanjutkan sekolah di salah satu sekolah swasta yang ada di Jakarta. Perihal ini belum kuceritakan kepada mbok. Aku yakin mbok sedih melihatku akan pergi jauh hanya untuk belajar, jadi menceritakan semua ini aku butuh waktu yang tepat agar mbok bisa mengerti dan dengan leluasa melepasku  serta menanam kepercayaan untukku.
            3 tahun berlalu dan ini saatnya mbok harus tau semua. Diruang tamu yang besarnya hanya kurang dari 2m aku duduk disamping mbok “Mbok..”panggilku “Iya Ro?” “Kalau Roro pergi jauh bagaimana? “Loh! Emang kamu mau kemana?” “Yah nggak kemana-mana sih mbok,aku Cuma mau tau saja” cetusk “Hm..tentu mbok nggak sanggup” Mendengar jawaban dari mbok membuatku harus menahan tangis dan berlari ke kamar. “Mbok tidak sanggup” kalimat itu sampai detik ini masih terngiang-ngiang ditelingaku. Sampai semalam aku tidak bisa tidur memikirkan kata-kata dari mbok. “Apa aku harus menerima beasiswa itu? Sedangkan mbok tidak sanggup aku pergi dan ia harus hidup sebatang kara”bicaraku dalam hati. Pukul 03.00 mataku masih terbelalak dan aku telah mengambil keputusan untuk tetap menerima beasiswa itu dengan keyakinan pulang melukis senyum di wajah mbok.
            Pagi itu aku bangun sedikit terlambat dengan mata bengkak. Kebetulan hari ini hari minggu dan mungkin ini saat yang tepat untuk mengatakan semuanya. “Mbok..Roro mau bicara” mbok langsung duduk disampingku “Apa nak?” “Hm..jadi gini, Roro menerima beasiswa disekolah dan Roro akan ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah disana. Roro bingung ngejelasin semuanya mbok soalnya Roro nggak mau ngeliat mbok sedih” setetes air mata jatuh dipipi kanan mbok dihiasi oleh senyuman kemudian mbok memelukku. “Ro..mbok lebih sedih lagi kalau kamu menolak beasiswa itu karena mbok. Mbok bisa kok  hidup sendiri tapi kamu harus janji kalau kamu pulang nanti kamu harus membawa kabar gembira buat mbok” isakku semakin keras ketika mendengar mbok mengatakan seperti itu. “Iya mbok iyaa..Roro janji! Malam itu kubereskan semua barang-barangku dibantu dengan mbok. Karena besok pagi mobil yang disewa untuk menjemputku sudah datang. Dengan berbekal uang jajan yang sudah kutabung selama 9 tahun lamanya aku pergi dengan menyimpan air mata untuk mbok.
            Sekolah baru,teman baru,suasana baru. Mataku terbuka lebar tiap kali melangkah melihat betapa megahnya bangunan ini. Kalau dibandingkan dengan sekolahku yang dulu perbandingganya 360 derajat. Aku ditempatkan di kelas X.A. “Aku disini yah”kata seorang lelaki yang entah siapa namanya. “Kenalin nama gue Tomi” aku sedikit gugup ketika dia memperkenalkan dirinya. Gue? Aku pikir kata-kata itu terlalu kasar jika dilontarkan untukku. “Heyyy..kenapa diam?”  “ha..hmm nggak nggak. Aku Roro” mendengarku bicara dengan lemah lembut membuat Tomi sedikit canggung dan langsung duduk disampingku. Detik demi detik berlalu dan aku tidak sadar bahwa aku telah melewatkan waktu bersama Tomi dengan mengabaikan pertemuanku dengan teman-teman baru yang lain. Betapa bahagianya aku saat tahu bahwa teman-teman yang bersamaku sekarang ini adalah teman-teman yang baik. Kami sepaham dan sangat mudah dalam hal diskusi. Sampai pada akhirnya aku ditunjuk untuk mengikuti lomba siswa berprestasi bersama 3 orang siswa lainnya. “Beberapa hari lagi kalian akan mengikuti olimpiade siswa berprestasi tingkat nasional. Dan ibu harap kalian meningkatkan waktu belajar kalian dan lebih serius lagi. Hadiahnya juga sangat besar maka dari itu ibu minta kalian bersungguh-sungguh dalam hal ini” Kata Ibu Amel saat kami di kumpulkan diruang guru. Huh..ini adalah kesempatan untukku. Siapa tau aku bisa menang dan hadiahnya bisa aku kasih untuk mbok. Hari-hari disekolah kuisi bersama Roy,Sena,dan Martin di perpustakaan sambil berdiskusi bagaimana cara mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh Bu Amel. “Ro..kayaknya di antara kita berempat kamu deh yang otaknya paling encer”ujar Sena “ah..apaan sih biasa aja kok. Masih pintaran kalian semua.” Jawabku “Nggak Ro..yang Sena bilang tuh bener”. Aku menunduk tersipu malu atas pujian-pujian mereka.
            Duduk menghadapi kertas putih yang berisi soal olimpiade adalah awal bagiku. Tapi aku selalu ingat mbok yang sedang menanti bahagia disana. Sekitar 10 menit akhirnya kami diminta untuk mengerjakan soal dan harus selesai dalam waktu 90 menit. Kubuka dengan basmalah dan kumulai mesin otakku bekerja. Di depan jendela ada Bu Amel yang selalu tersenyum dan menyemangatiku. Setelah satu jam lebih berlalu ketiga temanku sudah keluar dari ruangan mereka masing-masing. Aku masih tetap menajaga konsentrasiku sampai kudengar bel tanda berakhirnya waktu 90 menit.
            Di asrama teman-teman meyakinkanku bahwa aku akan keluar sebagai pemenang tapi aku harus tetap rendah hati namun tetap mengaminkan. Berdiri ditengah ribuan siswa lainnya sudah biasa menurutku.  Tapi upacara bendera,yang dilakukan setiap hari senin kali ini membuatku sangat tidak percaya. “juara 1 olimpiade tingkat nasional… Roro Mahesa” kata sang protokol diatas sana. Aku diam tak berkutik. “Mimpi apa aku semalam”tanyaku dalam hati. “Heyy.udah nggak usah melamun ayo naik!” diserahkannya hadiah untukku dengan hiasan tepuk tangan ribuan siswa lainnya. Aku bangga,bangga sekali! Kalau dihitung-hitung biaya tabungan dan hadiah lomba olimpiade yang sekarang ada di tanganku sudah cukup membuat mbok naik haji tapi aku tidak mau mbok sendiri,aku harus ikut. Selesai upacara nanti aku dipanggil menghadap keruang kepala sekolah. Dan satu kejutan lagi. Aku diminta untuk memilih 1 negara favorit yang bisa kukunjungi. Ini adalah hadiah dari sekolah atas rasa bangganya kepadaku.“Mashaa Allah..rahmat Tuhan tentu saja aku pilih mekkah bu.” Bu Amel tersenyum “Baiklah..keberangkatan kamu akan diurus sekolah.” “Tapi bu..boleh tidak mbok ikut?” tanyaku dengan wajah risau “Memangnya sekarang mbok kamu diamana?” “Mbok ada dikampung bu. Soal biaya keberangkatan mbok biar saya yang tanggng. Boleh yah bu?” “Yasudah..nanti ibu konfirmasi ke Pembina yang lain” “Makasih bu. Makasih”
            Hari  ini hari keberangkatanku dengan mbok. Se-jam yang lalu aku menjemput mbok yang beberapa hari sudah diberi kabar oleh pembina disekolah. Aku mendapatinya dengan wajah berbinar-binar. Ia tiba-tiba memelukku dengan ucapan terimakasih. Kami bertemu dengan jamaah haji lainnya di Islamic centre dan bersama-sama menuju ke bandara dengan bus putih. Sungguh pemandangan yang sangat asing bagiku. Pakaian sederhana. Sebuah mukenah putih terasa nyaman dibadanku,pun mbok. Pesawat akan berangkat sekitar pukul 07.00 katanya dan yah sebentar lagi impianku akan tercapai. Sambil menunggu,cemilan dan sebotol air sudah ada digenggamanku. Dan iya! ini kali pertama aku akan merasakan terbang diudara. “Mbok..mbok takut tidak?” tanyaku. “Jelaslah Ro.. inikan pertama kali.” “sama mbok..Roro juga takut. Bagaimana kalau pesawatnya jatuh?” “Ih..nggak boleh ngomong gitu…kita pergi dengan niat yang baik. Semoga saja Allah meridhoi.” Aku mengamini ucapan mbok dalam hati. Setengah jam menunggu akhirnya panggilan untuk masuk ke dalam pesawat sudah terdengar. Dengan basmalah aku masuk dan duduk tepat disamping mbok.  Sedikit demi sedikit pesawat pun terbang dan membuatku keringat dingin. Kututup mataku agar aku bisa rilex kembali dan menikmati perjalanan. Kucoba menatap keluar jendela dan “Ah..inilah pemandangan Indonesia yang sebenarnya”. Pemandangan ini membuatku lebih santai hinggaku terlelap sandar di bahu mbok. Kalimat-kalimat dzikir yang dilantunkan mbok terdengar semu ditelingaku. Sampai 12 jam kemudian sampailah kami di bandara Arab Saudi. Rasa penasaran dalam hatiku menggebu-gebu. Penasaran sekaligus tak sabar melihat baitullah,kotak hitam yang kudamba-dambakan selama ini. Kami pun diantar oleh pemandu untuk kesana. Saat baitullah sudah ada dihadapanku air mataku jatuh satu per satu. Mbok juga diam terkesima,matanya berkaca-kaca dan tersenyum haru.Aku juga tidak bisa menjelaskan apa yang kurasa saat ini. Namun seketika baitullah yang kudambakan terabaikan saat mbok jatuh menimpa kaki kananku. Mbok sesak nafas sekaligus kejang-kejang. Aku meminta jamaah haji lainnya untuk membawa mbok ke rumah sakit. Air mataku mengalir semakin deras sampai pada akhirnya mbok menghembuskan nafas terakhirnya tepat saat adzan isya berkmandang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar